Beranda | Artikel
Fatwa Ulama: Hukum Mengingkari Penguasa Secara Terang-Terangan
9 jam lalu

Fatwa Syekh Muhammad Ali Farkus

 

Pertanyaan:

Sebagian kelompok penuntut ilmu meyakini tidak bolehnya mengingkari penguasa secara terang-terangan secara mutlak. Mereka menisbatkan hukum tersebut kepada mazhab Salaf secara keseluruhan, dengan berdalil pada nash-nash yang memerintahkan untuk menasihati mereka secara rahasia. Mereka juga menuduh pihak yang menyelisihi pendapat mereka dalam masalah ini sebagai orang yang bodoh tentang prinsip-prinsip manhaj Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam bermuamalah dengan penguasa.

Kami mengharapkan dari Syekh kami – semoga Allah menjaganya – penjelasan mengenai masalah ini, yang telah menyita porsi yang luas dalam perdebatan dan diskusi di kalangan penuntut ilmu saat ini, antara yang setuju dan yang menentang, terlebih lagi di situs-situs jejaring sosial di internet. Semoga Allah membalas kebaikan kepada Anda.

Jawaban:

Ketahuilah -semoga Allah merahmatimu- bahwa di antara bentuk nasihat bagi para pemimpin umat Islam adalah: mengingatkan mereka akan tanggung jawab yang dipikul di pundak mereka, dan memberitahukan kepada mereka tentang kesalahan serta penyimpangan yang mereka lakukan dengan cara yang lembut, penuh hikmah, dan santun.

Prinsip dasar dalam menasihati mereka adalah dilakukan secara rahasia jika memungkinkan, tanpa pencemaran nama baik, cercaan, atau tuduhan. Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata,

مَنْ وَعَظَ أخاهُ سِرًّا فقَدْ نَصَحَه وَزَانَه، ومَنْ وَعَظَه عَلَانِيَةً فقَدْ فَضَحَه وشانَهُ

“Barangsiapa yang menasihati saudaranya secara rahasia, maka sungguh ia telah memberi nasihat dan memperindahnya. Dan barangsiapa yang menasihatinya secara terang-terangan, maka sungguh ia telah mempermalukan dan menodainya.” [1]

Ibnu Rajab rahimahullah berkata,

وكان السَّلفُ إذا أرادوا نصيحةَ أحَدٍ وَعَظوهُ سرًّا، حتَّى قال بعضُهم: «مَنْ وَعَظَ أخاهُ فيما بينه وبينه فهي نصيحةٌ، ومَنْ وَعَظَهُ على رؤوسِ النَّاس فإنَّما وبَّخهُ

“Dahulu para Salaf, jika ingin menasihati seseorang, mereka menasihatinya secara rahasia. Sampai-sampai sebagian mereka berkata, ‘Barangsiapa yang menasihati saudaranya antara dirinya dengan saudaranya saja, maka itu adalah nasihat. Barangsiapa yang menasihatinya di hadapan khalayak ramai, maka ia sesungguhnya sedang mencercanya.`”

Al-Fudhail rahimahullah berkata,

المُؤمنُ يَسْتُرُ ويَنصَحُ، والفاجرُ يَهْتِكُ ويُعيِّرُ

“Seorang mukmin itu menutupi (aib) dan memberi nasihat, sedangkan orang yang durhaka itu membongkar (aib) dan mencela.”

Abdul Aziz bin Abi Rawwad rahimahullah berkata,

ان مَنْ كان قبلَكم إذا رأى الرجلُ مِنْ أخيه شيئًا يأمره في رِفقٍ فيُؤْجَرُ في أَمْرِه ونَهْيِه، وإنَّ أَحَدَ هؤلاء يخرق بصاحِبِه فيَسْتَغْضِبُ أخاهُ ويَهْتِكُ سِتْرَهُ

“Dahulu orang-orang sebelum kalian, jika seseorang melihat sesuatu (yang tidak baik) pada saudaranya, ia memerintahkannya (kepada kebaikan) dengan lembut. Maka ia pun mendapat pahala dalam perintah dan larangannya. Sedangkan orang-orang (di zaman) ini, ada yang bersikap kasar terhadap saudaranya, sehingga membuat saudaranya marah dan ia telah merusak kehormatan saudaranya dengan membuka aibnya.”

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma pernah ditanya tentang memerintahkan penguasa kepada yang ma’ruf dan melarangnya dari yang munkar. Beliau menjawab,

إِنْ كُنْتَ فاعلًا ولا بُدَّ ففيما بينك وبينه

“Jika engkau harus melakukannya, maka lakukanlah antara dirimu dan dia (secara rahasia).”

Yahya bin Ma’in berkata,

مَا رَأَيْتُ عَلَى رَجُلٍ خَطَأً إِلَّا سَتَرتُهُ وَأَحْبَبْتُ أَنْ أُزَيِّنَ أَمرَهُ، وَمَا اسْتَقبَلتُ رَجُلًا فِي وَجْهِهِ بِأَمرٍ يَكرَهُهُ، وَلَكِنْ أُبَيِّنُ لَهُ خَطَأَهُ فِيمَا بَينِي وَبَيْنَهُ، فَإِنْ قَبِلَ ذَلِكَ وَإِلَّا تَرَكتُهُ

“Tidaklah aku melihat kesalahan pada seseorang melainkan aku menutupinya dan aku ingin memperindah urusannya. Aku tidak pernah menghadapi seseorang langsung di wajahnya dengan sesuatu yang ia benci. Akan tetapi, aku jelaskan kesalahannya antara aku dan dia. Jika ia menerimanya (itu baik), dan jika tidak, aku tinggalkan.” [2]

Nasihat kepada para penguasa dilakukan secara rahasia; baik melalui melalui surat tertutup yang dikirimkan secara fisik atau melalui surat elektronik (email), maupun dengan menyerahkan secara langsung kepada mereka melalui perantara orang yang terpercaya, atau dengan meminta pertemuan persaudaraan untuk menyampaikan nasihat secara empat mata, dan cara-cara semacam itu yang dapat mendatangkan manfaat dari nasihat dalam bidang dakwah, pendidikan, dan media.

Dengan mempertimbangkan prinsip tersebut, pemahaman terhadap hadis berikut menjadi lebih jelas,

مَنْ أَرَادَ أَنْ يَنْصَحَ لِذِي سُلْطَانٍ فَلَا يُبْدِهِ عَلَانِيَةً، وَلَكِنْ يَأْخُذُ بِيَدِهِ فَيَخْلُو بِهِ، فَإِنْ قَبِلَ مِنْهُ فَذَاكَ وَإِلَّا كَانَ قَدْ أَدَّى الَّذِي عَلَيْهِ

“Barangsiapa yang ingin menasihati penguasa, maka janganlah ia menampakkannya secara terang-terangan. Akan tetapi, hendaklah ia mengambil tangannya (membawanya) lalu menyepi dengannya. Jika nasihatnya diterima, maka itulah yang diharapkan. Jika tidak, sungguh ia telah menunaikan kewajibannya.” [3]

Adapun jika tidak memungkinkan untuk menasihati mereka secara rahasia guna menghilangkan kemungkaran yang mereka lakukan secara terang-terangan, dan ada dugaan kuat bahwa kebaikan dapat dicapai melalui pengingkaran secara terbuka tanpa menimbulkan mudarat apa pun, maka dalam kondisi seperti ini, diperbolehkan untuk menasihati mereka dan mengingkari kesalahan mereka secara terang-terangan, asalkan tanpa disertai pencemaran nama baik, penghinaan, atau tuduhan. Hal ini sesuai dengan tuntutan hikmah dalam mengingkari kemungkaran, menegakkan kebenaran, dan meraih kebaikan.

Sebagai bukti, sahabat yang mulia Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu pernah secara terbuka mengingkari Marwan bin Al-Hakam karena mendahulukan khotbah sebelum salat Id. Pengingkaran ini dilakukan secara terbuka tanpa tujuan merendahkan atau menghasut masyarakat. Para sahabat dan orang-orang yang hadir mengetahuinya, dan tidak ada seorang pun yang mengingkari cara beliau menasihati. [4]

Pendapat ini diperkuat oleh perkataan Abu Qilabah, “Aku pernah berada di Syam, di sebuah majelis yang di dalamnya terdapat Muslim bin Yasar. Lalu datanglah Abu Al-Asy’ats.”

Orang-orang yang hadir di majelis itu berkata, ‘Abu Al-Asy’ats, Abu Al-Asy’ats!’ Dia pun duduk. Aku berkata kepadanya, ‘Ceritakanlah kepada saudara kami hadis dari ‘Ubadah bin Ash-Shamit.’

Dia menjawab, ‘Baik. Kami pernah berperang dalam suatu peperangan, dan yang memimpin pasukan adalah Mu’awiyah. Kami memperoleh banyak harta rampasan perang. Di antara harta rampasan kami terdapat bejana dari perak. Mu’awiyah kemudian memerintahkan seorang lelaki untuk menjualnya dan membagikan hasilnya kepada para prajurit. Orang-orang pun berebutan membelinya.

Kabar ini sampai kepada ‘Ubadah bin Ash-Shamit. Beliau pun berdiri dan berkata, ‘Sesungguhnya aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam…

يَنْهَى عَنْ بَيْعِ الذَّهَبِ بِالذَّهَبِ، وَالْفِضَّةِ بِالْفِضَّةِ، وَالْبُرِّ بِالْبُرِّ، وَالشَّعِيرِ بِالشَّعِيرِ، وَالتَّمْرِ بِالتَّمْرِ، وَالْمِلْحِ بِالْمِلْحِ، إِلَّا سَوَاءً بِسَوَاءٍ، عَيْنًا بِعَيْنٍ، فَمَنْ زَادَ أَوِ ازْدَادَ فَقَدْ أَرْبَى

melarang jual beli emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, jewawut dengan jewawut, kurma dengan kurma, garam dengan garam, kecuali dengan takaran yang sama, dan secara tunai. Barangsiapa yang menambah atau meminta tambahan, maka ia telah melakukan riba.”

Maka orang-orang pun mengembalikan apa yang telah mereka ambil.

Peristiwa itu sampai kepada Mu’awiyah, lalu beliau berkhotbah dan berkata, “Ingatlah, mengapa ada beberapa orang yang menyampaikan hadis-hadis dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, padahal kami dahulu menyaksikan dan mendampingi beliau, namun kami tidak mendengar hadis-hadis tersebut darinya?”

Maka ‘Ubadah bin Ash-Shamit berdiri dan mengulangi kembali kisah (pengingkarannya) itu, kemudian berkata, “Sungguh, kami akan tetap menyampaikan apa yang telah kami dengar dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, sekalipun Mu’awiyah tidak menyukainya” — atau dia berkata, “sekalipun dia benci” — “Aku tidak peduli jika tidak lagi mendampinginya dalam pasukannya di malam yang gelap gulita sekalipun.” [5]

Dan ilmu (yang sebenarnya) hanya ada di sisi Allah Ta’ala. Penutup doa kami adalah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Semoga Allah melimpahkan selawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga, sahabat, dan pengikutnya hingga hari kiamat.

Ini hanyalah sebagian kecil dari banyaknya contoh pengingkaran yang dilakukan oleh para sahabat radhiyallahu ‘anhum terhadap para pemimpin dan penguasa. Dalam konteks inilah, Ibnul Qayyim rahimahullah berkata,

“Apa yang dikatakan oleh ‘Ubadah bin Ash-Shamit dan lainnya, ‘Kami telah membaiat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam untuk mengatakan kebenaran di mana pun kami berada, dan kami tidak takut cercaan siapa pun dalam menegakkan agama Allah’—dan kami bersaksi [demi Allah] bahwa mereka telah memenuhi baiat tersebut. Mereka mengatakan kebenaran, menyatakannya dengan lantang, dan mereka tidak gentar terhadap cercaan siapa pun dalam menegakkan agama Allah. Mereka tidak menyembunyikan sedikit pun kebenaran karena takut cambukan, tongkat, penguasa, atau gubernur, sebagaimana diketahui oleh siapa pun yang mempelajari petunjuk dan sejarah hidup mereka.”

“Sungguh, Abu Sa’id telah mengingkari Marwan padahal dia adalah gubernur Madinah. ‘Ubadah bin Ash-Shamit mengingkari Mu’awiyah padahal dia adalah khalifah. Ibnu Umar mengingkari Al-Hajjaj meskipun dikenal sangat keras dan kejam. Dan beliau juga mengingkari Amr bin Sa’id yang saat itu menjadi gubernur Madinah. Ini hanyalah sebagian kecil dari sekian banyak contoh pengingkaran mereka terhadap para pemimpin dan penguasa ketika mereka menyimpang dari keadilan. Mereka tidak takut pada cambuk maupun hukuman dari para penguasa tersebut.”

“Adapun generasi setelah mereka, tidak memiliki kedudukan (keberanian) seperti ini. Bahkan mereka meninggalkan banyak kebenaran karena takut kepada penguasa zalim dan pemimpin yang lalim. Maka, mustahil jika generasi setelah sahabat itu diberi taufik kepada kebenaran, sementara para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam justru dihalangi darinya.” [6]

Perlu dipahami bahwa nasihat yang disampaikan secara terbuka harus dilakukan tanpa disertai pencemaran nama baik, penghinaan, atau tuduhan, karena hal-hal tersebut bertentangan dengan aspek moral. Nasihat itu juga tidak boleh disertai dengan ucapan atau tindakan keluar dari ketaatan, karena hal itu menyalahi prinsip Islam dalam pemerintahan dan politik.

Apalagi jika para penguasa sendiri mengizinkan penyampaian nasihat di hadapan mereka secara terbuka, serta membuka pintu bagi penyampaian pendapat dan kritik, dan memberikan izin untuk itu.

Hal ini tercakup dalam perkataan Ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu, “Jika kalian melihatku berada di atas kebatilan, maka luruskanlah aku.”

Dan dalam redaksi lain, “Jika aku menyimpang, maka luruskanlah aku.” [7]

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Dalam hal ini terdapat pelajaran tentang adab terhadap para penguasa, bersikap lembut terhadap mereka, menasihati mereka secara rahasia, serta menyampaikan kepada mereka apa yang dikatakan orang tentang mereka agar mereka dapat menghentikannya. Semua ini berlaku jika memungkinkan. Namun, jika tidak memungkinkan untuk menasihati atau mengingkari secara rahasia, maka boleh dilakukan secara terang-terangan, agar pokok kebenaran tidak hilang.” [8]

An-Nawawi rahimahullah berkata pada kesempatan lain, “Para ulama berkata, ‘Perintah untuk melakukan yang ma’ruf dan larangan dari yang mungkar tidak dikhususkan bagi pemegang kekuasaan saja. Bahkan, hal itu diperbolehkan bagi setiap individu Muslim.’

Imam Al-Haramain berkata, ‘Dalil atas ini adalah ijma’ (konsensus) kaum Muslimin. Karena pada masa awal Islam dan generasi setelahnya, orang-orang selain penguasa pun biasa memerintahkan para penguasa kepada yang ma’ruf dan melarang mereka dari yang mungkar, sementara kaum Muslimin membiarkan mereka dan tidak mencela mereka karena sibuk melakukan amar ma’ruf nahi mungkar tanpa memiliki jabatan resmi.`” [9]

Kebenaran harus ditempatkan di atas jabatan, sehingga wibawa penguasa tidak boleh menjadi penghalang untuk mengoreksi pernyataannya dengan cara yang santun dan lembut, sesuai dengan batasan-batasan nasihat dan syarat-syarat yang telah disebutkan sebelumnya.

Semua itu dilakukan sebagai bentuk menginginkan kebaikan dan membenci keburukan bagi sang penguasa. Hal ini merupakan hak pemimpin atas umat, dan padanya terdapat upaya menyelamatkan serta menghidupkan hati sang pemimpin, sekaligus menyelamatkannya dari terjerumus ke dalam api Neraka.

Hal ini dikuatkan oleh hadis yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani dalam “Al-Mu’jam Al-Kabir” (11-[19: 393]), dan “Al-Ausath” (12-[5: 279]), Abu Ya’la dalam “Musnad”-nya (13-[13: 373]), serta Ibnu ‘Asakir dalam “Tarikh Dimasyq” (14-[59: 168]), dari hadis Mu’awiyah radhiyallahu ‘anhu, bahwa dia berkata, Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,

سَتَكُونُ أَئِمَّةٌ مِنْ بَعْدِي يَقُولُونَ فَلَا يُرَدُّ عَلَيْهِمْ قَوْلُهُمْ يَتَقَاحَمُونَ فِي النَّارِ كَمَا تَقَاحَمُ القِرَدَةُ

“Akan datang setelahku para pemimpin yang perkataan mereka tidak boleh dibantah, (padahal jika dibiarkan) mereka akan berdesak-desakan masuk ke dalam neraka seperti berdesak-desakannya kera.” [10]

Ash-Shan’ani rahimahullah berkata saat menjelaskan makna hadis tersebut,

««سَتَكُونُ أَئِمَّةٌ مِنْ بَعْدِي يَقُولُونَ» “Akan datang setelahku para pemimpin yang mengatakan”, yaitu perkataan yang mungkar, berdasarkan sabda beliau, «فَلَا يُرَدُّ عَلَيْهِمْ قَوْلُهُمْ» “perkataan mereka tidak dibantah”, karena segan kepada mereka dan takut akan kekejaman mereka.

«يَتَقَاحَمُونَ فِي النَّارِ» “Mereka berdesak-desakan masuk ke dalam neraka”, yaitu terjatuh ke dalamnya sebagaimana seseorang menyergap ke dalam urusan besar dan melemparkan dirinya ke dalamnya tanpa pertimbangan.

«كَمَا تَقَاحَمُ القِرَدَةُ» “Seperti berdesak-desakannya kera”, yaitu dalam hal yang membenarkan perumpamaan ini. Dan dimungkinkan bahwa dhamir (kata ganti) «يَتَقَاحَمُونَ» “mereka berdesak-desakan” kembali kepada para pemimpin dan juga kepada orang yang tidak membantah mereka karena berusaha mengambil hati (mendiamkan kemungkaran) dan sikap meremehkan dalam agama.” [11]

Perlu diperhatikan bahwa jika diduga kuat kemungkaran dan kerusakan tidak akan hilang dengan nasihat terang-terangan, bahkan justru dapat menimbulkan akibat sebaliknya yang membahayakan dakwah kepada Allah dan para pemberi nasihat secara terbuka, maka yang dituntut oleh pertimbangan maslahat, dalam kondisi seperti ini, adalah menghindari pengingkaran secara terang-terangan dan cukup dengan menasihati mereka secara rahasia jika memungkinkan.

Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Jika kita melihat bahwa pengingkaran secara terang-terangan dapat menghilangkan kemungkaran dan mendatangkan kebaikan, maka kita ingkari secara terang-terangan. Namun, jika kita melihat bahwa pengingkaran secara terang-terangan justru tidak menghilangkan keburukan dan tidak mendatangkan kebaikan, bahkan akan meningkatkan tekanan para penguasa terhadap para pengingkar dan ahli kebaikan, maka yang lebih baik adalah kita ingkari secara rahasia.”

“Dengan demikian, berbagai dalil dapat dikompromikan. Dalil-dalil yang menunjukkan bahwa pengingkaran dilakukan secara terang-terangan berlaku ketika kita mengharapkan tercapainya maslahat, yaitu terwujudnya kebaikan dan hilangnya keburukan. Sedangkan nash-nash yang menunjukkan bahwa pengingkaran dilakukan secara rahasia berlaku ketika pengingkaran terbuka justru akan menambah keburukan dan tidak mendatangkan kebaikan.” [12]

Baca juga: Ahlusunah Membela Kezaliman Penguasa?

***

Penerjemah: Fauzan Hidayat

Artikel Muslim.or.id

 

Referensi:

https://www.ferkous.app/home/index.php?q=fatwa-1260

 

Catatan kaki:

[1] Hilyatul Auliya, karya Abu Nu’aim (9: 140); Syarah Muslim, karya An-Nawawi (2: 24).

[2] Jami’ al-‘Ulum wal-Hikam, hal. 77.

[3] HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah (2: 521), dari hadis ‘Iyadh bin Ghanm radhiyallahu ‘anhu, dan disahihkan oleh Al-Albani dalam Zhilaalul Jannah (no. 1096).

[4] HR. Al-Bukhari dalam Abwab Al-‘Idain (2: 17) bab Al-Khuruj ila Al-Mushalla bi ghairi minbar, dan Muslim dalam Shalat Al-‘Idain (1: 69) bab Bayanu kaun an-nahyi ‘an al-munkar min al-iman, dari hadis Abu Sa’id Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu.

[5] HR. Muslim dalam Al-Musaqah (11: 13), bab Ash-Sharf wa bai’ adz-dzahabi bil warqi naqdan.

[6] I’lamul Muwaqqi’in, karya Ibnul Qayyim (4: 110).

[7] Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dalam At-Tarikh (2: 237), dan Ibnu Hisyam dalam As-Sirah An-Nabawiyyah melalui jalur Muhammad bin Ishaq bin Yasar, dari Az-Zuhri, dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu. Ibnu Katsir berkata [dalam Al-Bidayah wan Nihayah (5: 248, 6: 301)]: “Ini adalah sanad yang sahih.”

[8] Syarh Shahih Muslim, 18: 118.

[9] Ibid, 2: 23.

[10] Hadis ini disahihkan oleh Al-Albani dalam As-Silsilah Ash-Shahihah (4: 398), dan Husain Asad, pentahqiq Musnad Abi Ya’la (13: 373).

[11] At-Tanwir Syarh Al-Jami’ Ash-Shaghir, 6: 390.

[12] Liqa’ Al-Bab Al-Maftuh, 62: 10.


Artikel asli: https://muslim.or.id/110777-hukum-mengingkari-penguasa-secara-terang-terangan.html